Tinggalkan jejak anda melalui komentar

Selasa, 16 Agustus 2011

Coffee and Love

Matahari sudah kembali ke peraduannya, waktu juga sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas, namun aku belum beranjak dari dudukku di sebuah cafe pinggir kota ini. Lima gelas kopi sudah ku habiskan sejak sore tadi, ditambah sepuluh bungkus cemilan yang telah habis dan satu novel yang sudah kubaca sampai selesai. Tiga jam menunggu itu sanggatlah membosankan, apalagi di cafe yang kebanyakan tamunya tak duduk sendiri. Pelayan yang sama sejak tadi bolak balik menghampiriku dan mencatan pesananku, mungkin dia pikir sedang apa aku di sini memesan begitu banyak minuman dan cemilan namun aku hanya seorang diri. Pandanganku sesekali terpaku pada ponsel berwarna merah yang berada diantara gelas-gelas kopi yang telah kosong. Aku sangat ingin untuk pulang dan berhenti menunggu, tetapi bagaimana jika dia datang dan aku tak ada di sini. Apa reaksinya nanti aku juga tak mengerti.
Sekarang jam berwarna biru tosca di tanganku sudah tepat berada di angka delapan. Tanpa pikir panjang lagi aku memutuskan untuk pulang. Membayar semua yang aku pesan dengan sia-sia dengan uang seratus ribu rupiah tanpa kembalian. Berjalan ke parkiran saja aku seperti orang bingung yang baru saja melakukan kebodohan besar, yaitu menunggu seseorang yang tidak pernah datang. Kunaiki sepeda motor ku dan berjalan menuju rumah dengan memikirkan mengapa ia tak datang hari ini.
Setelah setengah jam perjalanan aku sampai di rumah, kulihat ponselku berharap dia mengabariku namun tak ada satu pun sms atau telpon darinya. Kulempar tubuhku ke ranjang, menatap langit-langit sambil membayangkan dan memikirkan dia. Tak terasa mataku terpejam sampai pagi.
Bunyi ponsel membangunkanku, telpon dari Adit orang yang dari kemarin ku tunggu.
“Halo Dona, maaf ya kemarin nggak datang” katanya dengan menyesal.
“Ya....” benar-benar malas aku menjawabnya.
“Maaf ya, kemarin aku tiba-tiba harus pergi menemani mama, dan aku lupa membawa ponsel. Kemarin aku kesana tapi kamu sudah nggak ada, aku kerumahmu kamu udah tidur. Jadi maafkan aku ya, kamu tahu mamaku seperti apa kan?”
“Ya, aku maafkan. Tapi aku capek banget nunggu kamu”
“Maaf kemarin aku benar-benar bingung, kan kamu tahu aku nggak ingat nomermu. Jadi aku nggak bisa menghubungimu”
“Ya, aku maafkan kog. Sudah ya aku capek. Uhuk...uhuk...uhuk...”
“Kamu sakit ?”
“enggak kog, aku cuma capek, udah kamu nggak usah khawatir. Udah ya aku tidur, masih capek”
“ok....selamat istirahat ya”
Sore tiba, Adit sms dan mengajak bertemu. Kepalaku sangat pusing dan lambungku sangat perih. Apa ini karena aku hanya makan sedikit hari ini dan banyak tidur. Diluar rumah hujan sangat deras, tak mungkin aku pergi naik motor sendiri. Jika aku tak datang bagaimana dengan Adit.
Ponselku berbunyi, telpon dari Adit.
“Halo Adit, ada apa?”
“Kamu bisa datangkan?”
“Bisa kog, aku sudah mau berangkat ini?”
“ow, ok aku tunggu ya”
Taksi yang ku pesan sudah datang, aku segera berangkat ke cafe milik Adit yang terletak dekat rumahnya. Karena ini hujan jalanan jadi macet, setengah jam sudah aku terjebak macet. Cafe Adit sudah dekat tetapi jalan masih macet, jadi aku putuskan untuk berjalan dan menembus hujan dengan payung yang kubawa.
Dengan tubuh yang menggigil, sampailah aku di cafe Adit.
“maaf aku terlambat” ucapku sambil berusaha menghangatkan tubuh
“Dona, kamu kehujanan?”
“ia, tadi jalan macet pas udah dekat aku turun, aku kira hujannya udah nggak deres ternyata lumayan juga”
“duduk sini, aku ambilkan handuk dan teh untuk menghangatkan badanmu”
“ia, terima kasih”
“ini, cepat hangatkan badanmu. Kamu ini aneh-aneh saja, sudah tau hujan malah turun dari taksi”
“kan aku mau datang tepat waktu, nggak kayak kamu.”
“ia..ia. tapi jangan kayak gini juga, kalau kamu sakit gimana?”
“enggak kog aku nggak akan, kan aku kuat. Kamu tahu aku kan?”
“ia, eh bentar ya ada yang manggil aku”
“jangan lama-lama lo!”
Kepalaku semakin terasa pusing dan lambungku semakin perih, ditambah lagi badanku yang kedingingan. Saat aku ingin mengembalikan handuk tiba-tiba tubuhku terjatuh dan semua menjadi gelap. Aku hanya mendengar teriakan Adit dan suara orang-orang yang ada di sekitarku. Tanpa kusadari aku sudah berada ruangan yang tak kukenali sebelumnya, disana ada Adit dan beberapa pegawai cafenya.
“aku dimana Dit?” tanya ku
“kamu di ruang kerjaku. Tadi kamu pingsan, sebenernya aku mau bawa kamu ke rumah tetapi karena masih hujan jadi aku bawa kamu kesini.”
“terima kasih ya”
“sebenarnya kamu sakit ya? Badan mu panas,  ini aku buatkan bubur dimakan, minum obat ini, lalu istirahat lagi. Ok? Sekarang aku mau menyelesaikan urusanku dulu, nanti aku kembali”
“terimah kasih, tapi maaf sudah merepotkan sebaiknya sekarang aku pulang saja. Disini aku hanya mengganggumu”
“nanti aku antarkan kamu, sekarang lakukan yang aku suruh”
“baik, terima kasih ya.” Dengan tersenyum aku mengatakan padanya.
Semangkuk bubur telah aku habiskan, aku meminta secangkir kopi kepada pelayan untuk menghangatkan tubuhku lagi. Tetapi lambungku semakin perih, aku pikir kopi ini membuat aku lebih baik tetapi malah membuat semakin sakit. Aku berjalan menemui Adit.
“Adit, aku pulang sendiri saja ya, aku sudah tidak kuat”
“kalau begitu aku antar kamu sekarang”
“ngggak usah, kamu kan masih kerja”
“udah nggak apa-apa, lagian kan aku bisa ke sini lagi”
“ya udah kalau gitu, aku tunggu di luar”
Perjalanan pulang aku habiskan dengan tidur di mobil Adit, udara dingin karena hujan dan ac mobil membuat badanku semakin lemas. Sayup-sayup terdengar alunan lagu dari music player di mobil ini. Perjalanan serasa hanya semenit, padahal butuh waktu setengah jam untuk sampai di rumahku. Mama yang panik karena aku datang dengan wajah pucat langsung berlari dan membawaku ke kamar. Karena mama sangat khawatir denganku, akhirnya ia memanggil dokter ke rumah dan memeriksaku. Analisa dokter mengatakan bahwa aku mengalami radang lambung dan harus dirawat di rumah sakit karena sudah sangat parah.
Esoknya aku berangkat ke rumah sakit untuk perawatan, sungguh rasanya tersiksa tidak boleh makan ini dan itu harus begini dan begitu. Sepertinya akhir-akhir ini aku makan wajar-wajar saja. Adit datang ke rumah sakit dan membawakan bubur buatannya dan setangkai mawar. Memang aneh sih, aku kan bukan cewek yang suka dengan bunga dan lain-lain yang romantis. Bagiku hal seperti itu hanya buang-buang uang.
Radang lambung ku ternyata disebabkan karena kebanyakan minum kopi saat perut kosong. Itu sangat menyebalkan karena aku harus berhenti minum minuman yang dapat menyebabkan radangku semakin parah, seperti kopi. Adit terus menerus menyuruhku istirahat, padahal ku sangat bosan jika hanya tidur tidur dan tidur. Ingin melakukan sesuatu tidak boleh, hush benar-benar membosankan.
“aku ingin jalan-jalan keluar, bosan di sini terus.”
“nggak boleh, kamu itu harus banyak istirahat Don,”
“tapi aku bosan Dit, ayolah hanya sebentar aja kog.”
“ok tapi aku ikut”
“ya...”
                Pemandangan taman rumah sakit ternyata sangat indah, banyak bunga yang tumbuh di sekitar sini. Aku dan Adit duduk di salah satu bangku yang tidak jauh dari kamarku. Dengan infus yang harus aku bawa kemana-mana aku melihat pemandangan dengan duduk.
“Adit maaf ya aku jadi ngerepotin kamu”
“nggak kog, aku nggak merasa direpotin.”
“tapi kamu kan udah nggak ke cafe hari ini, kamu cuma nemenin aku di sini.”
“nemenin kamu itu udah kerjaanku, lagian kan di cafe ada orang lain yang ngurusin. Mama kamu juga nggak bisa nemenin kamu kan”
“ia mama kan harus ngurusi semua pesanan, tapi aku kan bisa sendiri di sini”
“udah lah, lagian aku nggak merasa terbeban kog harus nemenin kamu di sini, aku malah seneng”
“seneng? Aneh deh aku aja bosen kog kamu malah seneng”
“kamu ada di sisiku itu udah buat aku seneng dan nggak bosen”
“gombal. Dasar cowok!”
“ok deh, ya aku seneng aja. Kan kita jadi punya banyak waktu buat sama-sama. Biasanya aku sibuk sama urusanku kan?”
“ia sih, aku juga seneng punya banyak waktu buat ketemu kamu, tapi kog ya nunggu aku sakit dulu ?”
“iya ya, kita balik ke kamar aja. Di sini udaranya dingin”
*
                Sudah lima hari aku terbaring di rumah sakit, semoga ini menjadi hari terakhirku di rumah sakit ini. Adit selalu datang kemari dan menemaniku, mengajakku keliling rumah sakit dan menghiburku. Setidaknya itu dapat menghilangkan rasa bosanku, namun tetap saja aku ingin segera pulang. Pagi ini dokter memeriksa kondisiku lagi, dalam hati aku benar-benar berdoa dan berharap bisa pulang. “Dona, kondisi kamu semakin membaik kalau besok kesehatanmu meningkat kamu boleh pulang” kata dokter berkaca mata ini. “yang benar dok, kalau begitu terima kasih” dengan muka penuh senyum aku menatap Adit. Terima kasih untuknya karena sudah mau merawatku. Sungguh hari ini sangat senang, aku harus kasih tau mama kalau besok boleh pulang. “halo, ma besok aku boleh pulang , jemput aku ya! Aku kangen suasana rumah dan masakan mama. Kan selama ini aku nggak boleh makan yang aneh-aneh. Besok masak yang enak ya ma” kataku dengan penuh semangat. “syukurlah kamu besok boleh pulang, tapi maaf ya besok mama banyak pesanan jadi nggak bisa jemput kamu dan masak. Kamu diantar Adit aja besok, kalau masak lain waktu aja ya” “ya ma, baik.” Kecewa aku mendengar hal tadi, disaat aku sakit mama malah sibuk. “Adit, besok kamu yang antar aku pulang ya, maaf banyak ngrepotin kamu” “iya nggak papa kok, dengan senang hati aku siap mengantarmu”.
                Adit pergi sebentar ke kantin rumah sakit, jadi aku sendirian di kamar yang lumayan luas ini. Kenapa saat seperti ini aku Cuma ditemani sama Adit kemana Papa kemana Mama? Adit kembali dengan membawa satu cup kopi hitam, kenapa dia membawa minuman kesukaanku saat aku tak boleh meminumnya? “Adit sini aku minta kopinya!” godaku. “lho kamu kan lagi nggak boleh minum kopi? Nggak boleh!” jawabnya tegas. “kalau gitu aku mau cium bau kopinya aja, lagian kamu juga bawa kopi kog ke sini” nada kesalku keluar juga. “ya ini, tapi dicium aja jangan diminum!” “ya bawel.”
                Pagi tiba, aku benar-benar diijinkan untuk pulang hari ini. Tak seperti kemarin yang ceria, hari ini aku sedikit kesal, karena kesibukkan mama. Untung saja ada Adit, kalau tidak aku bisa pulang berjalan kaki. Adit langsung membawaku pulang, dan tidak memberiku kesempatan untuk jalan-jalan keluar. Ya, aku memang sangat rindu dengan kamar ini. Tidur di sini lebih nyaman dari pada di rumah sakit. Walau aku sering kesepian di sini, tapi setidaknya aku bisa pergi ke mana pun aku mau. Mama menyempatkan kembali ke rumah, walau hanya sebentar namun itu sudah melegakan hatiku.
                Aku sungguh lega karena sakitku sudah benar-benar sembuh, walau aku masih harus menjaga pola makanku. Setidaknya aku boleh minum kopi meski hanya sedikit. Seminggu setelah keluar rumah sakit aku bertemu dengan Adit di Cafenya, ia membawa cangkir kecil yang berisi kopi pesananku. “sudah lama kau tidak minum kopi ini” sahutku dengan ceria. “kalau begitu minumlah, tapi hanya sedikit yang boleh kau minum” “aku ngerti kok”. Satu teguk kopi robusta ini membuatku sangat lega, “kamu tahu nggak kenapa aku suka banget sama kopi?” tanyaku sama Adit. “kenapa?” “biar aku bisa ke Cafe ini tiap hari dan liat kamu kerja” “haha cewek juga bisa gombal to” goda Adit. “heh, aku serius kok” jawabku, “lalu kamu tau nggak kenapa aku punya cafe?” tanya Adit. “lho kok kamu ikutan tanya sih, emang kenapa” tanyaku sambil meneguk kopi lagi. “biar aku bisa liat kamu datang ke cafe ini tiap hari”. “jadi kita dipersatukan sama kopi dan caffee, lucu nih” kataku, “mungkin aja”. Sejak hari itu kisah berlanjut menjadi lebih baik.

1 komentar:

  1. oh, ada blog juga. keep posting ya

    kunjungi juga http://kopinyapanas.blogspot.com

    BalasHapus