Harmoni yang Tak Indah
Sudah
beberapa hari ini aku dan Sani tidak bertemu dan aku tidak berusaha mencarinya.
Aku mencoba untuk tidak terlihat sedih jika berada di kampus, dan beruntungnya
teman-temanku tak ada yang curiga. Mencoba untuk tetap menjalani kegiatanku
dengan semangat. Jarum jam menunjuk angka sebelas, jam kuliah pertamaku pun
selesai. Waktuku untuk makan siang, dan aku berjalan ke kantin. Di kantin sudah
ada beberapa temanku yang sedang menikmati makanannya.
Setelah memesan makanan, aku
bergabung bersama Erick, Luna, dan Doni. Mereka yang menyadari kehadiranku
menghentikan aktivitasnya dan melihatku.
“Kalian kenapa kok tiba-tiba lihat
aku kayak gitu?” tanyaku pada mereka.
“Enggak kok, aneh aja. Udah beberapa
hari ini kamu kesana-kemari sendiri aja, biasanya kan
kamu sama Sani” ucap Doni.
“Hem, apa tiap hari aku harus terus
sama dia?”
“Ya nggak gitu Go, tapi kan
kita lihatnya udah kebiasaannya gitu. Emang si Sani lagi sibuk apa sih, kok
beberapa hari ini gak kelihatan di depan kita?” giliran Luna yang bertanya.
“Aku juga nggak tahu Lun, kayaknya
emang sibuk banget.”
“Emang dia nggak pamit sama kamu
gitu, kan kamu biasanya yang
anter jemput dia” kata Doni.
“Sayangnya enggak, pas aku jemput di
kossnya dia udah berangkat. Ya udah deh, aku nggak pernah ke kossnya lagi.”
“Sebenernya ada apa sih sama tu
anak, kenapa gak pernah muncul. Apa jangan-jangan dia punya pacar kali ya. Wah,
kita harus minta pajak tuh kalau sampai bener” ucap Erick yang langsung menohok
hatiku.
“Heh, punya pacar. Masak sih, aku
kira dia malah bakal sama kamu Go” kata Luna
“Aku bersama dengannya bukan berarti kami ada hubungan, ya
mungkin aja dia sudah punya pacar sekarang” ucapku datar, tetapi wajahku ku buat
senang.
Makan siang pun selesai, dan aku kembali masuk kelas
kuliahku. Langit sudah gelap ketika aku menyudahi kuliahku hari ini. Memang
jadwal kuliah yang sangat padat, dan melelahkan. Saat aku berjalan ke parkiran,
aku melihat Sani dengan laki-laki yang beberapa hari lalu kulihat bersamanya.
Sani nampak senang dan seperti tidak melupakan sesuatu. Maksudku adalah
melupakan teman-temannya. Sudahlah aku tak mau memikirkannya.
Kulajukan sepeda motorku melewatinya dan tersenyum kepadanya.
Ia melihatku, sungguh ia melihatku dan membalas senyumanku. Tetapi tatapannya
langsung kembali ke laki-laki itu. Lega sebenarnya dia masih mau tersenyum
padaku, tetapi tetap saja rasanya dia sudah jauh walau ada di depan mataku.
Setibanya di tempat kos, aku membuka laci dan mengambil
kertas berisi lirik dan notasi lagu. Ya, lagu yang aku buat untuk kami waktu
itu. Lagu yang belum memiliki judul. Mungkin aku bukan lelaki sejati yang hanya
bisa memandangi dan merasakan namun tak dapat mengungkapkan. Aku terlalu bodoh
dan egois, dan menanggung segalanya sendiri.
Tak terasa mataku terpejam dan tertidur. Bahkan dalam tidurku
pun dia masih setia hadir. Aku belum lama mengenalnya, tetapi mengapa
perasaanku bisa sebesar ini. Jujur ini bukan kali pertama aku menyukai lawan
jenisku. Sudah berkali-kali aku merasakannya, dan tidak pernah sampai seperti
ini. Aku juga pernah sakit hati, tapi tidak sesakit ini. Aku memang bukan
laki-laki yang kuat kali ini.
Senja hadir saat mataku terbuka, rasa yang mengganjal dalam
hatiku susah sedikit hilang. Aku lebih tenang sekarang. Mengerjakan tugas
kuliah memang membuatku lupa sesaat tentangnya. Tugas-tugas yang mau tidak mau
di tulis tangan, dosen satu itu memang sangat merepotkan. Dan lumayan membantu
melupakannya sesaat.
Kampus hari ini sangat ramai, ya ada event dari fakultas
sastra yang di adakan aula fakultasku. Semua mahasiswa dari fakultas lain juga
ada di sini. Banyak lomba yang di gelar yang semua berhubungan dengan sastra
dan bahasa. Aku tidak mengikuti perlombaan tersebut, hanya sebagai penonton
saja. Karena aku mahasiswa awal semester.
Lomba menyanyi yang kali ini sedang berlangsung. Salah satu
mahasiswa dari sastra Jepang yang sedang
bernyanyi, tentunya bernyanyi dengan bahasa Jepang. Cantik, sangat cantik dan
suaranya pun sangat bagus. Namun menurutku Sani lebih cantik. Lagu yang
dinyanyikannya pun telah berakhir, aku memberikan tepuk tanganku untuk
penampilannya.
Gadis itu, dia yang tadi bernyanyi berjalan ke arahku dengan
membawa dua kaleng minuman bersoda.
“Hai, apa kamu sendirian aja?” Gadis itu bertanya sambil
duduk di sebelahku.
“Seperti yang kamu lihat” jawabku datar.
“Aku Marissa, kulihat dari tadi aku bernyanyi kamu terus
memandangku. Apa kamu menyukai penampilanku?” Sungguh sebenarnya aku tidak
nyaman dengan kehadirannya, namun aku berusaha untuk terlihat biasa saja”
“Penampilanmu bagus”
“Hanya itu?”
“Apa yang harus aku jawab lagi?”
“Hem, tidak ada sih. Ini aku bawakan minuman untukmu.”
“Terima kasih” ucapku sambil mengambil kaleng minuman itu.
“Sepertinya aku sudah pernah melihatmu sebelumnya, kamu anak
jurusan apa?”
“Oh ya. Aku, sastra Jerman” obrolan yang agak canggung
sebenarnya, tetapi aku mencoba tak peduli. Meski sikapnya yang sok kenal padaku
sangat mengganggu.
“Ternyata kamu anak sastra juga, berarti tak salah jika aku
sudah pernah melihatmu. Kamu yang selalu mengantar Sani kan ?”
Sani? Dia kenal Sani?
“Kamu kenal Sani? Diakan bukan anak sastra”
“Aku nggak kenal sih, tapi siapa yang nggal kenal Sani di
kampus kita ini??”
“Maksudmu?” aku memandangnya bingung
“Sani, mahasiswi pintar dan berbakat. Cantik dan banyak
disukai cowok di kampus ini. Dan satu lagi yang sedang jadi bahan pembicaraan
hangat di kampus ini”
“Apa?”
“Sani katanya sedang dekat dengan salah satu model kampus
kita yang nggak kah pintar dan berbakat dengan Sani. Banyak yang bilang mereka
cocok.”
“Jadi dia mahasiswa teladan juga”
“Oh, rupanya kamu belum tahu berita satu ini. Bukankah kamu
dekat dengan Sani?”
“Aku tahu” aku sudah sangat sebal dengan gadis ini dan aku
hendak pergi menuju tempat teman-temanku berada. “Aku pergi” kataku sambil
melangkah pergi.
Kantin kampus benar-benar ramai, namun aku tahu mereka pasti
ada di sini. Meja paling pojok yang menjadi langganan kami memang sudah penuh
dengan teman-temanku dan….. Sani. Tunggu masih ada satu yang tidak biasanya ada
di sana , ya laki-laki yang biasa
dengan Sani. Masa bodoh, aku tetap berjalan menuju meja itu, dan langsung duduk
di bangku yang kosong.
“Weh, Go. Dari mana aja kamu?” Tanya Erick.
“Lihat lomba nyanyi” jawabku datar.
“Oh, eh ini kenalkan temanku namanya Leo” kata Sani padaku
sambil menunjuk teman laki-laki yang ada di sebelahnya. Ternyata namanya Leo.
“Dan Leo ini Igo yang biasanya mengantarku” kata Sani menunjukku. Kutunjukkan
senyum di wajahku sebagai tanda perkenalan kami. Dari yang aku lihat, Leo bukan
orang yang tidak baik. Jadi pantas saja Sani betah bersamanya.
Aku memang cemburu kepadanya, tetapi Leo tak pantas menjadi
orang yang harus di salahkan. Ini karena aku yang terlalu memiliki harapan
besar terhadap Sani, dan tidak mau menerima kenyataan. Dan satu kenyataan bahwa
Sani yang terlalu sibuk sehingga membalas smsku saja tidak.
“Go, kamu mau pesen makan apa?” tanya Luna yang menyadarkanku
dari lamunan singkatku.
“Aku mie ayam aja, kasih potongan cabe ya!” pintaku. Luna
berjalan memesan makanan ku dan teman-teman yang sudah duluan di tanya saat aku
melamun.
“Sebernernya kamu lagi sibuk apa sih San, sampe beberapa hari
ini nggak nemuin kita” tanya Doni.
“Kan aku ikut
klub dance sama Leo, dan pelatih kami menyuruh kami untuk menari untuk
pementasan klub kampus yang bentar lagi dilaksanakan. Kalian tahu itu kan ?”
Jadi mereka hanya teman satu klub, dan aku yang terlalu berlebihan mengartikan
kedekatan mereka.
“Wah, aku kan
nggak ikut klub apa-apa jadi ya nggak tahu” jawab Erick.
“Oh, jadi kamu ikut klub dance. Kok kita bisa nggak tahu
sih.” Kata Doni
“Sebenernya belum lama aku ikut, tapi udah langsung di suruh
buat ngisi acara itu. Dan pasangan sama Leo yang udah lebih jago.” Jelas Sani.
“Kalian ngobrol apaan sih” ucap Luna sambil membawa nampan
berisi pesanan kami.
“Ini lo Lun, tentang aku sama Leo”
“Kamu sama Leo?? Emang ada apa kamu sama Leo? Kalian jadian ?
jadi selama ini kamu nggak muncul di depan kita itu karena udah punya pacar.
Wah bener dong kata Igo.” Ucap Luna asal.
“Nggak gitu Lun, aku sama Leo nggak pacaran. Kami Cuma jadi
pasangan nari buat pementasan klub kampus.”
“Sejak kapan kamu ikut klub tari, nggak cerita-cerita nih”
“Sejak jaman bahola” ucap Doni
“Eh, yang aku tanya Sani, bukan kamu Don!” Luna terlihat
kesal dengan sikap Doni.
“Salah sendiri tadi pergi, Sani udah jelasin ke kita masa suruh
jelasin ke kamu lagi” kata Erick.
“Udah baik-baik beliin makanan buat kalian juga.” Aku tertawa
melihat pertengkaran di depan ku ini, jujur saja mereka membuatku lupa tentang
apa yang aku rasakan. “Igo, ngapain ketawa!” bentak Luna, aku langsung diam dan
menyantap mie ayam ku.
Pelatih klub musik menyuruh anggota klub musik untuk
berkumpul, dan sudah kutebak mengapa kami di kumpulkan. Pementasan klub kampus
yang akan dilaksanakanlah yang membuat aku berkumpul. Dalam pembicaraan kali
ini disepakati bahwa aku yang akan mewakili klub musik untuk tampil solo.
Sedangkan teman-teman lain tampil dalam kelompok.
Aku mempersiapkan satu lagu dan mulai melatihnya setiap hari
dengan piano. Meski waktuku latihan tidak banyak tetapi aku tetap
mengusahakannya. Dengan kesibukan baruku ini aku menjadi jarang berkumpul
dengan teman-teman dan tak pernah bertemu dengan Sani. Aku merindukan dia.
Jujur.
Aku memang sempat melihat Sani, saat itu dia sedang berlatih
tarian bersama Leo. Mereka terlihat sangat akrab. Tapi dia tak melihatku. Kata
beberapa temanku saat ini mereka memiliki hubungan lebih, terlihat dari
kedekatan mereka yang memang semakin dekat. Hem, sebenarnya aku ingin tak
peduli namun perasaanku tak bisa berbohong.
Perjalanan pulangku ke kos melewati sebuah taman, disana aku
melihat Leo dan Sani. Ini sudah jam 11
malam, apa yang mereka lakukan di taman ini. Aku memelankan motorku sambil
memperhatikan mereka. Tiba-tiba Leo mencium pipi Sani, jadi mereka memang sudah
berpacaran. Kenapa hati ini menjadi sesak, aku memacu motorku ke tempas kosku.
Dengan perasaan yang sesak ini aku membaringkan tubuhku di atas kasur.
Mataku terasa panas, dan dadaku pun sesak. Bukankah kedekatan
mereka sudah begitu lama, tetapi kenapa aku belum bisa menerima itu. Ku buka
laci dan mengambil lirik lagu yang aku buat waktu itu. Kupandangi kertas yang
memang sudah lecek itu. Kurasakan hpku bergetar, sms dari Marissa yang sudah
sering aku terima malam-malan begini.
Akhir-akhir ini Marissa semakin
mendekatiku, dan entah dari siapa dia mendapat nomorku. Sms darinya memang
selalu aku balas, dan hanya berperasaan sebagai teman tak lebih.
From Marissa:
Hai Go, selamat tidur ya. Aku tahu
kamu pasti capek banget hari ini. Cepet tidur dan nggak usah mikir macem-macem.
OK
To
Marissa:
Thx ya.
Setidaknya ada yang menyemangatiku
setiap hari.