Tinggalkan jejak anda melalui komentar

Minggu, 08 Juli 2012

Harmonisasi Cinta

Harmoni yang Tak Indah


         Sudah beberapa hari ini aku dan Sani tidak bertemu dan aku tidak berusaha mencarinya. Aku mencoba untuk tidak terlihat sedih jika berada di kampus, dan beruntungnya teman-temanku tak ada yang curiga. Mencoba untuk tetap menjalani kegiatanku dengan semangat. Jarum jam menunjuk angka sebelas, jam kuliah pertamaku pun selesai. Waktuku untuk makan siang, dan aku berjalan ke kantin. Di kantin sudah ada beberapa temanku yang sedang menikmati makanannya.
            Setelah memesan makanan, aku bergabung bersama Erick, Luna, dan Doni. Mereka yang menyadari kehadiranku menghentikan aktivitasnya dan melihatku.
            “Kalian kenapa kok tiba-tiba lihat aku kayak gitu?” tanyaku pada mereka.
            “Enggak kok, aneh aja. Udah beberapa hari ini kamu kesana-kemari sendiri aja, biasanya kan kamu sama Sani” ucap Doni.
            “Hem, apa tiap hari aku harus terus sama dia?”
            “Ya nggak gitu Go, tapi kan kita lihatnya udah kebiasaannya gitu. Emang si Sani lagi sibuk apa sih, kok beberapa hari ini gak kelihatan di depan kita?” giliran Luna yang bertanya.
            “Aku juga nggak tahu Lun, kayaknya emang sibuk banget.”
            “Emang dia nggak pamit sama kamu gitu, kan kamu biasanya yang anter jemput dia” kata Doni.
            “Sayangnya enggak, pas aku jemput di kossnya dia udah berangkat. Ya udah deh, aku nggak pernah ke kossnya lagi.”
            “Sebenernya ada apa sih sama tu anak, kenapa gak pernah muncul. Apa jangan-jangan dia punya pacar kali ya. Wah, kita harus minta pajak tuh kalau sampai bener” ucap Erick yang langsung menohok hatiku.
            “Heh, punya pacar. Masak sih, aku kira dia malah bakal sama kamu Go” kata Luna
“Aku bersama dengannya bukan berarti kami ada hubungan, ya mungkin aja dia sudah punya pacar sekarang” ucapku datar, tetapi wajahku ku buat senang.

Makan siang pun selesai, dan aku kembali masuk kelas kuliahku. Langit sudah gelap ketika aku menyudahi kuliahku hari ini. Memang jadwal kuliah yang sangat padat, dan melelahkan. Saat aku berjalan ke parkiran, aku melihat Sani dengan laki-laki yang beberapa hari lalu kulihat bersamanya. Sani nampak senang dan seperti tidak melupakan sesuatu. Maksudku adalah melupakan teman-temannya. Sudahlah aku tak mau memikirkannya.
Kulajukan sepeda motorku melewatinya dan tersenyum kepadanya. Ia melihatku, sungguh ia melihatku dan membalas senyumanku. Tetapi tatapannya langsung kembali ke laki-laki itu. Lega sebenarnya dia masih mau tersenyum padaku, tetapi tetap saja rasanya dia sudah jauh walau ada di depan mataku.
Setibanya di tempat kos, aku membuka laci dan mengambil kertas berisi lirik dan notasi lagu. Ya, lagu yang aku buat untuk kami waktu itu. Lagu yang belum memiliki judul. Mungkin aku bukan lelaki sejati yang hanya bisa memandangi dan merasakan namun tak dapat mengungkapkan. Aku terlalu bodoh dan egois, dan menanggung segalanya sendiri.
Tak terasa mataku terpejam dan tertidur. Bahkan dalam tidurku pun dia masih setia hadir. Aku belum lama mengenalnya, tetapi mengapa perasaanku bisa sebesar ini. Jujur ini bukan kali pertama aku menyukai lawan jenisku. Sudah berkali-kali aku merasakannya, dan tidak pernah sampai seperti ini. Aku juga pernah sakit hati, tapi tidak sesakit ini. Aku memang bukan laki-laki yang kuat kali ini.
Senja hadir saat mataku terbuka, rasa yang mengganjal dalam hatiku susah sedikit hilang. Aku lebih tenang sekarang. Mengerjakan tugas kuliah memang membuatku lupa sesaat tentangnya. Tugas-tugas yang mau tidak mau di tulis tangan, dosen satu itu memang sangat merepotkan. Dan lumayan membantu melupakannya sesaat.

Kampus hari ini sangat ramai, ya ada event dari fakultas sastra yang di adakan aula fakultasku. Semua mahasiswa dari fakultas lain juga ada di sini. Banyak lomba yang di gelar yang semua berhubungan dengan sastra dan bahasa. Aku tidak mengikuti perlombaan tersebut, hanya sebagai penonton saja. Karena aku mahasiswa awal semester.
Lomba menyanyi yang kali ini sedang berlangsung. Salah satu mahasiswa dari  sastra Jepang yang sedang bernyanyi, tentunya bernyanyi dengan bahasa Jepang. Cantik, sangat cantik dan suaranya pun sangat bagus. Namun menurutku Sani lebih cantik. Lagu yang dinyanyikannya pun telah berakhir, aku memberikan tepuk tanganku untuk penampilannya.
Gadis itu, dia yang tadi bernyanyi berjalan ke arahku dengan membawa dua kaleng minuman bersoda.
“Hai, apa kamu sendirian aja?” Gadis itu bertanya sambil duduk di sebelahku.
“Seperti yang kamu lihat” jawabku datar.
“Aku Marissa, kulihat dari tadi aku bernyanyi kamu terus memandangku. Apa kamu menyukai penampilanku?” Sungguh sebenarnya aku tidak nyaman dengan kehadirannya, namun aku berusaha untuk terlihat biasa saja”
“Penampilanmu bagus”
“Hanya itu?”
“Apa yang harus aku jawab lagi?”
“Hem, tidak ada sih. Ini aku bawakan minuman untukmu.”
“Terima kasih” ucapku sambil mengambil kaleng minuman itu.
“Sepertinya aku sudah pernah melihatmu sebelumnya, kamu anak jurusan apa?”
“Oh ya. Aku, sastra Jerman” obrolan yang agak canggung sebenarnya, tetapi aku mencoba tak peduli. Meski sikapnya yang sok kenal padaku sangat mengganggu.
“Ternyata kamu anak sastra juga, berarti tak salah jika aku sudah pernah melihatmu. Kamu yang selalu mengantar Sani kan?” Sani? Dia kenal Sani?
“Kamu kenal Sani? Diakan bukan anak sastra”
“Aku nggak kenal sih, tapi siapa yang nggal kenal Sani di kampus kita ini??”
“Maksudmu?” aku memandangnya bingung
“Sani, mahasiswi pintar dan berbakat. Cantik dan banyak disukai cowok di kampus ini. Dan satu lagi yang sedang jadi bahan pembicaraan hangat di kampus ini”
“Apa?”
“Sani katanya sedang dekat dengan salah satu model kampus kita yang nggak kah pintar dan berbakat dengan Sani. Banyak yang bilang mereka cocok.”
“Jadi dia mahasiswa teladan juga”
“Oh, rupanya kamu belum tahu berita satu ini. Bukankah kamu dekat dengan Sani?”
“Aku tahu” aku sudah sangat sebal dengan gadis ini dan aku hendak pergi menuju tempat teman-temanku berada. “Aku pergi” kataku sambil melangkah pergi.

Kantin kampus benar-benar ramai, namun aku tahu mereka pasti ada di sini. Meja paling pojok yang menjadi langganan kami memang sudah penuh dengan teman-temanku dan….. Sani. Tunggu masih ada satu yang tidak biasanya ada di sana, ya laki-laki yang biasa dengan Sani. Masa bodoh, aku tetap berjalan menuju meja itu, dan langsung duduk di bangku yang kosong.
“Weh, Go. Dari mana aja kamu?” Tanya Erick.
“Lihat lomba nyanyi” jawabku datar.
“Oh, eh ini kenalkan temanku namanya Leo” kata Sani padaku sambil menunjuk teman laki-laki yang ada di sebelahnya. Ternyata namanya Leo. “Dan Leo ini Igo yang biasanya mengantarku” kata Sani menunjukku. Kutunjukkan senyum di wajahku sebagai tanda perkenalan kami. Dari yang aku lihat, Leo bukan orang yang tidak baik. Jadi pantas saja Sani betah bersamanya.
Aku memang cemburu kepadanya, tetapi Leo tak pantas menjadi orang yang harus di salahkan. Ini karena aku yang terlalu memiliki harapan besar terhadap Sani, dan tidak mau menerima kenyataan. Dan satu kenyataan bahwa Sani yang terlalu sibuk sehingga membalas smsku saja tidak.
“Go, kamu mau pesen makan apa?” tanya Luna yang menyadarkanku dari lamunan singkatku.
“Aku mie ayam aja, kasih potongan cabe ya!” pintaku. Luna berjalan memesan makanan ku dan teman-teman yang sudah duluan di tanya saat aku melamun.
“Sebernernya kamu lagi sibuk apa sih San, sampe beberapa hari ini nggak nemuin kita” tanya Doni.
Kan aku ikut klub dance sama Leo, dan pelatih kami menyuruh kami untuk menari untuk pementasan klub kampus yang bentar lagi dilaksanakan. Kalian tahu itu kan?” Jadi mereka hanya teman satu klub, dan aku yang terlalu berlebihan mengartikan kedekatan mereka.
“Wah, aku kan nggak ikut klub apa-apa jadi ya nggak tahu” jawab Erick.
“Oh, jadi kamu ikut klub dance. Kok kita bisa nggak tahu sih.” Kata Doni
“Sebenernya belum lama aku ikut, tapi udah langsung di suruh buat ngisi acara itu. Dan pasangan sama Leo yang udah lebih jago.” Jelas Sani.
“Kalian ngobrol apaan sih” ucap Luna sambil membawa nampan berisi pesanan kami.
“Ini lo Lun, tentang aku sama Leo”
“Kamu sama Leo?? Emang ada apa kamu sama Leo? Kalian jadian ? jadi selama ini kamu nggak muncul di depan kita itu karena udah punya pacar. Wah bener dong kata Igo.” Ucap Luna asal.
“Nggak gitu Lun, aku sama Leo nggak pacaran. Kami Cuma jadi pasangan nari buat pementasan klub kampus.”
“Sejak kapan kamu ikut klub tari, nggak cerita-cerita nih”
“Sejak jaman bahola” ucap Doni
“Eh, yang aku tanya Sani, bukan kamu Don!” Luna terlihat kesal dengan sikap Doni.
“Salah sendiri tadi pergi, Sani udah jelasin ke kita masa suruh jelasin ke kamu lagi” kata Erick.
“Udah baik-baik beliin makanan buat kalian juga.” Aku tertawa melihat pertengkaran di depan ku ini, jujur saja mereka membuatku lupa tentang apa yang aku rasakan. “Igo, ngapain ketawa!” bentak Luna, aku langsung diam dan menyantap mie ayam ku.

Pelatih klub musik menyuruh anggota klub musik untuk berkumpul, dan sudah kutebak mengapa kami di kumpulkan. Pementasan klub kampus yang akan dilaksanakanlah yang membuat aku berkumpul. Dalam pembicaraan kali ini disepakati bahwa aku yang akan mewakili klub musik untuk tampil solo. Sedangkan teman-teman lain tampil dalam kelompok.
Aku mempersiapkan satu lagu dan mulai melatihnya setiap hari dengan piano. Meski waktuku latihan tidak banyak tetapi aku tetap mengusahakannya. Dengan kesibukan baruku ini aku menjadi jarang berkumpul dengan teman-teman dan tak pernah bertemu dengan Sani. Aku merindukan dia. Jujur.
Aku memang sempat melihat Sani, saat itu dia sedang berlatih tarian bersama Leo. Mereka terlihat sangat akrab. Tapi dia tak melihatku. Kata beberapa temanku saat ini mereka memiliki hubungan lebih, terlihat dari kedekatan mereka yang memang semakin dekat. Hem, sebenarnya aku ingin tak peduli namun perasaanku tak bisa berbohong.

Perjalanan pulangku ke kos melewati sebuah taman, disana aku melihat Leo dan Sani.  Ini sudah jam 11 malam, apa yang mereka lakukan di taman ini. Aku memelankan motorku sambil memperhatikan mereka. Tiba-tiba Leo mencium pipi Sani, jadi mereka memang sudah berpacaran. Kenapa hati ini menjadi sesak, aku memacu motorku ke tempas kosku. Dengan perasaan yang sesak ini aku membaringkan tubuhku di atas kasur.
Mataku terasa panas, dan dadaku pun sesak. Bukankah kedekatan mereka sudah begitu lama, tetapi kenapa aku belum bisa menerima itu. Ku buka laci dan mengambil lirik lagu yang aku buat waktu itu. Kupandangi kertas yang memang sudah lecek itu. Kurasakan hpku bergetar, sms dari Marissa yang sudah sering aku terima malam-malan begini.
            Akhir-akhir ini Marissa semakin mendekatiku, dan entah dari siapa dia mendapat nomorku. Sms darinya memang selalu aku balas, dan hanya berperasaan sebagai teman tak lebih.
 From Marissa:
            Hai Go, selamat tidur ya. Aku tahu kamu pasti capek banget hari ini. Cepet tidur dan nggak usah mikir macem-macem. OK
To Marissa:
            Thx ya.
           
            Setidaknya ada yang menyemangatiku setiap hari.