Tinggalkan jejak anda melalui komentar

Selasa, 07 Maret 2017

Jogja, Semoga Kau Mampu Menyembuhkan Luka

“Penumpang yang kami hormati, sesaat lagi kereta api Tasaka akan tiba di Stasiun Yogyakarta, periksa kembali barang bawaan anda. Tetaplah duduk sampai kereta api benar-benar berhenti. Terima kasih atas kepercayaan anda mengunakan layanan kami. Sampai bertemu di perjalanan berikutnya”
            Kereta api yang aku naiki sudah sampai di kota di mana aku dilahirkan, Yogyakarta. Aku Tsania, umurku 18 tahun, seorang remaja yang akan melanjutkan kehidupannya di kota ini.
*
            “Tsaniaaaaa….”
            “Mas Darto….. aku kangennnnnn” ucapku sambil berlari memeluk kakak sepupu yang menjemputku. “Mas Darto sendirian aja nih… Pakdhe, Budhe, Wina nggak ikut mas?”
            “Kamu ki ndak lihat po ya sekarang ini jam berapa? Hmmm.. Yo jelas to ya kalo Pakdhe dan Budhe itu ya masih kerja. Nah kalo Wina lagi dolan sama temennya” Jelas Mas Darto sambil membuka pintu bagasi dan memasukkan barang-barangku.
            “Hmmm… eh mas. Brarti nanti aku satu kampus sama Wina kan?”
            “Iya, udah ayo masuk, kamu pasti lapar to… tadi Simbah udah masak banyak banget buat kamu di rumah”
            “Wahhh.. Simbah memang pengertian sama cucunya yang cantik ini.. lets go!”
Mobil yang kami naiki berjalan keluar stasiun dan membelah jalanan Jogja yang sedikit padat akibat jam pulang kerja. Sepanjang perjalanan ke rumah aku tak henti-hentinya melihat ke luar jendela. Sungguh, kota ini memang selalu aku rindukan. Tidak lama, mobil yang aku naiki bersama mas Darto sampai di rumah. Rumah ini adalah rumah Pakdhe Joyo yang merupakan kakak dari Mama, sedangkan Simbah Kakung dan Putri tinggal di sebelah rumah Pakdhe.
            “Kamar kamu di sebelah kamar Wina yo Tsan, kamu ke sana wae dulu, nanti tas-tas mu sing abot itu tak bawake ke kamar”
            “Aku ke tempat simbah dulu aja deh mas, sekalian mau makan”
            “Yowis, nanti tak nyusul setelah tas-tasmu ini tak masuke kamar”
Aku berjalan ke rumah yang benar-benar persis di sebelah rumah Pakdhe ini. Simbah disini nggak cuma tinggal berdua aja, tapi juga ada Bulik Eni yang merupakan adiknya Mama, Paklik Herman suami Bulik Eni dan Menik anaknya yang masih umur 7 tahun.
            “Mbah..” Sapaku pada simbah Kakung yang sedang asik merumput”
            “ Weee… cah ayu sudah datang to. Ayo masuk, Mbah Putri sudah nunggu di dalam”
            “Iya Mbah, Tsania masuk dulu ya mbah” Aku kemudian masuk ke dalam rumah dan menemui Mbah Putri yang sedang asik membaca di ruang tengah. “Mbah Putri….” Ucapku sambil menduduki kursi kosong di sebelah simbah.
            “Welah. Cah ayu iki, sudah datang. Tadi di jemput Darto to?”
            “Iya mbah, tadi Mas Darto yang jemput pakai mobil kodok kesayangannya itu”
            “Welah bocah kuwi, wong ya ada mobil Kijang apik isih kinyis-kinyis kok malah numpak kodok ijo.”
            “Nggak papa kok mbah, tadi kodoknya lagi waras kok, nggak rewel”
            “Hmm. Yawis. Kamu sudah makan ? Simbah tadi sudah masak, itu makan saja yang ada di meja makan”
            “Oke mbah, Tsania makan dulu ya, Simbah sudah makan ?”
            “Sudah, simbah dan mbah Kakung sudah makan tadi”
            “Tsania ke meja makan ya mbah.”
Aku menghampiri meja makan dan melihat terdapat banyak menu makanan yang tersaji, dari tempe tahu bacem, sayur lodeh, ikan asin, dan sambal. Menu khas yang dimasak simbah ini selalu ngangeni. Aku segera mengambil piring dan kuisi dengan nasi yang masih panas, dan segera kutambahkan lauk pauk yang sangat lezat itu.
            “Tsan, nek makan ki ya berdoa dulu jangan langsung leb gitu to ya”
            “Ih.. Mas Darto nih ganggu aja… Tsania udah berdoa yaa… sini mas, makan bareng.”
            “Nggak usah kamu suruh aku makan bareng, aku ke sini ya memang mau makan dek”
            “Tuhan.. Kiranya engkau memberi aku kesabaran tinggal serumah sama mas Darto. Amin”
            “Weeeeelahh. Malah doa ngono, njaluk di cium ki kayane..”
            “Ihhh.. kan aku bercanda mas.. Sudah ah, aku mau makan.”
Setelah selesai makan siang yang sangat terlambat ini aku memilih ke kamar untuk mengganti baju dan beristirahat.
*
            Aku terbangun, jam dinding menunjukkan angka 1. Ya ini masih jam 1 pagi, karena aku tidur terlalu pagi aku jadi bangun dengan segar dan tidak mengantuk. Aku memutuskan untuk menata barang-barang yang masih berada di tas dan koperku. Mulai aku pindahkan satu persatu baju-baju yang aku bawa ke dalam lemari baju yang berada di sudut kamar. Setelah aku sudah memasukkan semua barang kedalam lemari, ternyata masih terdapat satu kotak kecil yang tertinggal. Ku lihat sejenak kotak berwarna merah muda itu, pikiranku seakan diterbangkan pada kejadian beberapa hari lalu, hari sebelum aku berangkan ke kota ini.
#
            Hari ini adalah hari perpisahan sekolah, berpisah dengan seluruh teman-teman SMA yang sudah sangat dekat satu sama lain. Acara perpisahan digelar dengan sederhana, ya acaranya hanya di sekolahan saja. Kami semua menggunakan baju terbaik kami, dan bagi kaum hawa akan menghabiskan waktu lebih lama untuk persiapan datang ke acara ini, ya berdandan cantic. Banyak teman-teman yang memberi hadiah dan surat kenagan di hari terakhir sekolah ini. Teman-temanku sedih ketika mengetahui aku akan melanjutkan studi ku di kota kelahiranku, Yogyakarta, mereka tak rela aku berpisah jauh dari mereka.
            “Yoooo… mari kita lanjutkan acara malam perpisahan SMA Harapan Cinta ini. Acara selanjutnya adalah acara puncak, siapa yang nggak sabar dengan penobatan King and Queen SMA Harapan Cinta 2013???” Semua siswa bersorak saat pembawa acara mucul di atas panggung. “Tapi sebelum itu.. kita akan mendengarkan penampilan dari salah satu siswa yang sangat tamfaaann di SMA Harapan Cinta ini, siapa???”
Semua teman-teman menyerukan sebuah nama dengan lantang, nama yang sangat membuat hati ini berdetak hingga terdengar keluar tubuh, membuat tanganku dingin dan kakiku bergetar hebat. Nama yang beberapa tahun terakhir mengisi ruang hati yang kosong, yang mengisi kesendirian ini dengan penuh canda dan tawa. Dia, yang beberapa saat lalu kuhampiri dan kukatakan kata ‘PUTUS’.
            “Angga!!!!!!” Sorak seluruh siswa menyerukan namanya.
            Deg…..
            “Yaa…. Kalian semua benar, langsung saja kita panggilkan… Angga” sebut sang pembawa acara memanggil namanya. Sosok berkemeja biru langit yang lengan panjangnya digulung hingga siku dengan celana jeans berwarna navy blue, tatanan rambut yang dibuat sangat rapi, jam tangan merk ternama berada di tangan sebelah kirinya. Angga duduk pada kursi yang berada di tengah panggung, membawa gitar kesayangannya. Sesekali kulihat ia menatap tajam pada diriku sambil mempersiapkan diri untuk bernyanyi. Sungguh, rasanya kakiku sudah tak sanggup untuk berdiri, namun aku harus terlihat kuat.
            “Lagu ini aku persembahkan untuk seseorang dan untuk kalian semua yang ada di tempat ini” beberapa dari teman-temanku langsung melihat ke arahku dengan senyum menggoda, mereka yang belum tahu apa yang terjadi beberapa saat lalu masih bisa menggoda ku dengannya, dan aku hanya diam.
            Petikan gitarnya sudah terdengar jelas di telingaku, hati ini mulai ricuh dan bergemuruh mendengar setiap nada yang keluar. Sungguh, aku harus tetap berdiri di sini dengan kuat. Suara beratnya mulai terdengar, penuh dengan kesakitan.
If you ever leave me, baby,
Leave some morphine at my door
'Cause it would take a whole lot of medication
To realize what we used to have,
We don't have it anymore.
There's no religion that could save me
No matter how long my knees are on the floor (Ooh)
So keep in mind all the sacrifices I'm makin'
To keep you by my side
To keep you from walkin' out the door.
'Cause there'll be no sunlight
If I lose you, baby
There'll be no clear skies
If I lose you, baby
Just like the clouds
My eyes will do the same, if you walk away
Everyday it'll rain, rain, ra-a-a-ain
I'll never be your mother's favorite
Your daddy can't even look me in the eye
Ooh, if I was in their shoes, I'd be doing the same thing
Sayin' "There goes my little girl
Walkin' with that troublesome guy"
But they're just afraid of something they can't understand
Ooh, but little darlin' watch me change their minds
Yeah for you I'll try, I'll try, I'll try, I'll try
And pick up these broken pieces 'til I'm bleeding
If that'll make you mine
'Cause there'll be no sunlight
If I lose you, baby
There'll be no clear skies
If I lose you, baby
Just like the clouds
My eyes will do the same, if you walk away
Everyday it'll rain, rain, ra-a-a-ain
Oh, don't you say (don't you say) goodbye (goodbye),
Don't you say (don't you say) goodbye (goodbye)
I'll pick up these broken pieces 'til I'm bleeding
If that'll make it right
'Cause there'll be no sunlight
If I lose you, baby
There'll be no clear skies
If I lose you, baby
And just like the clouds
My eyes will do the same, if you walk away
Everyday it'll rain, rain, ra-a-a-ain
It Will Rain – Bruno Mars
            Lagu yang telah selesai ia nyanyikan membuat kedua mata kami meneteskan cairan bening yang asin. Ia terus menerus menatap mataku saat menyanyikan lagu tadi, tanpa sedetik pun terlepas. Semua orang yang melihat penampilannya, saat ini mengalihkan perhatiannya padaku. Dengan wajah keheranan mereka semua melihat tingkah kami yang aneh pada hari ini. Bayangkan saja, kami yang dijuluki pasangan paling romantis se-SMA Harapan Cinta malah saling menangis dan tersakiti di malam perpisahan, yang benar-benar menjadi malam perpisahan bagi kami. Aku memutuskan untuk berbalik pergi meninggalkan tempat ini, aku memutuskan keluar. Sungguh aku sudah tak sanggup melihat tatapan mereka dan tatapan matanya.
            “Tsania” belum sempat aku melangkahkan langkahku, aku mendengar Angga memanggil namaku dari atas panggung. Ia berjalan turun dari panggung dan menghampiriku. Aku enggan menolehkan badanku kearahnya, namun dengan tangannya sendiri ia mencoba menghadapkanku di hadapannya. “Untukmu” Ia memberikanku sebuah kotak kecil berwarna merah muda di depan seluruh teman yang ada di tempat ini. Setelah menyerahkan kotak itu, Ia berjalan pergi meninggalkanku.
#
            Kotak berwarna merah muda itu belum pernah aku buka, sungguh hati ini bergetar hebat mengingat siapa yang memberikannya. Dengan hati yang sangat berat, aku mencoba membuka kotak itu. Dalam kotak tersebut terdapat surat dan juga foto-foto kami, aku mencoba membaca surat tersebut.
Untuk Tsania,
Halo cantik, Cie yang sebentar lagi kuliah di Jogja.
Btw kalo udah di Jogja jangan lupain aku lo yaaa. Jangan suka nakal, kurang-kurangi lah isengnya.
Aku pasti bakal kangeeeenn banget sama kamu.. Ya, kamu tau lah ya, aku nggak ketrima kuliah di Jogja jadi ya kita LDRan dulu deh.
Sering-sering pulang ya, kalo ada kesempatan aku pasti bakal main-main juga kok ke Jogja. Jaga Kesehatan ya.
Oh ya, aku kasih kamu foto kita nih, biar kamu tetep selalu always setiap saat inget sama aku. Wekekekek. Pokoknya Suskses kuliahnya ya Tsan.

Love You
Angga

            Tanpa sadar, aku telah meneteskan air mataku, kata-kata sederhana namun sungguh membuat pertahananku runtuh seketika. Ia pasti saat itu sangat tak menyangka, bahwa saat itu akan menjadi hari perpisahan bagi kami, hadiah yang Ia siapkan pun benar-benar menjadi hadiah perpisahan, bukan hanya berpisah jarak namun juga hubungan kami. Tanganku mengambil beberapa foto yang terdapat dalam kotak, tak jarang tawaku muncul saat melihat pose konyol kami dalam foto. Tapi sekarang segalanya telah berakhir, dan aku sendiri yang memilih untuk mengakhirinya.










            Tak mau terlalu terlarut dalam perasaan ini, aku segera membereskan foto-foto ini dan kumasukkan kembali dalam kotak, berserta dengan suratya dan kumasukkan dalam lemari. Kulihat jam sudah menunjukkan angka 3 pagi, dan aku memilih untuk tidur agar saat pagi nanti aku tak seperti zombie.
*

Angga Pont of View

     Sudah beberapa hari ini aku selalu diam di rumah, lebih tepatnya di kamarku. Hari ini Dia yang masih setia berada di ruang hatiku pergi menuju kota kelahirannya. Berat. Namun telah kucoba memahami. Kesalahan yang pernah aku buat sebulan yang lalu memang sudah merusak kepercayaannya padaku. Ini semua memang kesalahanku, aku yang menyembunyikan berita bahwa aku akan melanjutkan studiku di Jerman dan membuat dia terluka. Kenyataan yang lebih menyakitkannya adalah hal itu sengaja disusun oleh Ayahku agar aku bisa bersama Clarisa, anak teman Ayah yang pernah aku suka dan masih kerap dijodoh-jodohkan denganku. Ayah memang lebih suka jika aku bersama Clarisa daripada Tsania. Aku tak mampu menolak permintaan Ayah, dan aku tak mampu menyampaikannya pada Tsania, hingga pada akhirnya Ia tahu dengan sendirinya.
     Mengurus kuliahku di Jerman membuatku mau tak mau sering bersama dengan Clarisa dan hal itu menjadi kesalahpahaman antara aku dengan Tsania. Sudah berkali-kali aku mencoba menjelaskan, bahwa aku hanya menyayanginya, namun Ia memilih pergi.
#
            “Maaf, tapi lebih baik kita sudahi saja. Aku tahu, Ayahmu pasti akan memberikan yang terbaik bagi anaknya. Clarisa, adalah yang terbaik bagi kamu. Aku memilih mengakhiri bukan berarti aku tak percaya pada perasaanmu padaku, namun ini untuk dirimu. Jerman adalah impianmu bukan? Sekarang itu sudah ada di tanganmu, dan Ayah yang telah mengusahakannya. Jadi, sekarang ini saatnya kamu untuk mengejar cita-cita mu di sana dan aku juga dengan cita-citaku di Jogja. Ayahmu juga telah memilih Clarisa untukmu, dan itu juga yang terbaik untukmu. Jadi, lebih baik kita akhiri saja ya?”
            “Tsan, aku bisa bilang sama Ayah untuk nggak memaksa aku sama Clarisa, aku bisa bilang sama Ayah kalau aku sayang sama kamu..”
            “Angga, kita sudah mencobanya selama 2 tahun ini bukan? Tapi Ayahmu tetap memilih Clarisa. Ibumu yang di Surga juga telah lebih dulu mengenal Clarisa dan Ayahmu bilang bahwa Ibumu sangat menyukai Clarisa. Clarisa mewarisi sifat Ibumu Angga, Dia seperti Ibumu. Bukannya kamu rindu Ibu? Sifat Ibumu ada pada Clarisa, bukan aku.”
            “Tapi Ibu harusnya tahu dari atas sana, mana yang lebih membuat anaknya bahagia. Ibu pasti mengerti Tsan. Kamu.. Cuma kamu Tsan. Clarisa itu masa lalu aku, teman masa kecil aku, bahkan kami nggak pernah pacaran Tsan.”
            “Tapi Ayah mu sudah mengganggap dia pacarmu Angga, dan aku tidak. Lebih baik sekarang aku menyadari diri dan mundur. Menentang orang tua nggak baik Angga, kamu harusnya bisa membahagiakan orang tuamu satu-satunya.”
            “Oke. Kalau itu yang menurutmu baik, dan yang harus aku lakukan. Aku akan lakukan. Tapi, kamu harus tetap tahu bahwa perasaan ini masih terus ada buat kamu. Terimakasih telah berkorban untuk aku, semoga kamu bisa mendapatkan yang lebih baik. Terimakasih untuk hati yang tulus, dan mau menerima keadaan ini. Aku nggak bisa memberi yang harusnya kamu terima. Aku minta maaf.”
#
     Tubuh kecil dalam pelukkanku untuk pertama dan terakhir itu masih terasa sampai saat ini. Mengapa Ayah tak mengerti, bahwa Tsania begitu sangat baik dan tulus. Tapi mungkin Tsania benar, Ibu lebih mengenal Clarisa daripada dia, dan Ibu telah mempercayakan Clarisa untuk berada bersamaku. Walau mungkin saat ini Ibu tahu mana yang lebih aku inginkan, tapi Ayah hanya tak ingin mengecewakan amanat Ibu pada Clarisa.
*
Back to Tsania
            “Tsaniaaaaaa…….. Kamu mau bangun jam berapaaa sih Tsann… ini udah pagi loo.. nanti jodohmu di ambil sama aku semua lo.. Gadis kok bangun siang” suara cempreng yang sangat tidak indah ini membangunkanku dari tidur. Dengan berat aku membuka mataku, dan
            “Winaaaaa…” teriakku sambil memeluk Wina. “Winaa, aku kangen tahu… “
            “Welah. Lha aku itu kemarin jam 7 sudah sampai rumah, eh malah sepupuku sing ayu ini molor kayak kebo, dibangunin makan malam aja ndak bangun.”
            “Hehehe. Aku capek tau… pokoknya aku kangen kamu Winnnnn” ucapku sambil memeluk Wina dengan erat.
            “Mas Darto…. Tolongin Wina Mas…. Aku dipenyet Tsaniaaa” teriak Wina dengan suara cemprengnya…
            “Walah.. opo to dek. Mbok nggak usah teriak-teriak. Wo. Akhire Tsania bangun juga. Wis sekarang mandi dan siap-siap Tsan, aku mau ngajak kamu dan Wina main ke Wonosari”
            “Wonosari??? Naik mobil kodok Ijomu mas?” Tanya Wina kepada kakaknyaa…
            “Yo endak lah. Naik mobil Bimo, aku ajak Bimo juga.”
            “Wa…. Sama Mas Bimoooo… asikkkk.” Sahut Wina dengan semangat dan cempreng.
            “Mas Bimo siapa Win?”
            “Wo… Mas Bimo itu temannya Mas Darto. Orangnya ganteng, pinter, masih single pisan. Coba aku belum pacaran sama Derel, pasti Mas Bimo udah jadi pacarku” ungkap Wina dengan wajah yang berseri
            “Bimo ndak cocok sama kamu lah Win, mosok ya mau punya pacar suarane cempreng koyo kaleng.”
            “Mas Darto ki lho.. Mas Bimo ki yo kok mau punya temen Mas Darto sing eleke ra ana sing ngalahi. Padahal Mas Bimo kan ganteng” Ejek Wina pada kakakanya. Aku hanya tertawa melihat kakak beradik ini saling ejek.
            “Lho ya justru karna aku jelek, Bimo jadi kelihatan ganteng. Jadi Bimo harus berterima kasih sama aku. Sudah, sekarang kalian siap-siap. Bimo sebentar lagi jemput” Ucap mas Darto sambil berlalu pergi.
            “Pokoknya to Tsan, kamu pasti suka deh sama mas Bimo, apalagi kamu baru putus to. Dijamin mas Bimo bisa menyembuhkan luka hatimu itu” kata Wina penuh penekanan dan keyakinan.
            “iya. Iya. Udah akum au mandi dulu. Makasih ya Win sudah dibangunin. Pokoknya aku kangen kamu” Kataku sambil mencium pipi Wina dan langsung berlari ke kamar mandi.
            “Tsan… Mbok ra nyium-nyium aku to… aku ki wis wangi ee“ Teriak Wina dengan suara cempreng khasnya.
            Aku hanya tertawa dari jauh. Ya, inilah yang aku suka dari kota kelahiranku. Keributan saudara-saudara yang selalu membuat aku bahagia. Aku berharap, luka hatiku akan terobati di tempat ini. Aku percaya bersama mereka, hari-hariku akan semakin berwarna. Dan untuk kamu Angga, selamat berbahagia dengan masa depanmu yang baru.


END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar